Selasa, 05 Maret 2013

WANITA KENANGAN - by : Ladu Tea Bintang

WANITA KENANGAN
Oleh : Ladu Tea Bintang


"Maafkan aku ibu, jika aku harus pergi meninggalkanmu tanpa kata-kata dan coretan air mata tinta, hatiku kini terluka, teriris tajamnya asmara penghianatan cinta, cinta yang ibu pilihkan buat ananda, kini telah menjadi sejarah kepahitan yang membekas dan tak mungkin sekejab kulupakan" aku tak ingin menemui ibu untuk sementara waktu, walau terkadang kerinduan selalu mengajakku pulang mememuinya. Sepekan sudah aku tak mendengar suara ibu yang biasanya menemaniku diruang sepi. Bagaimana keadaanmu ibu? Apa kau masih menganggap aku anakmu?
Hasrat hati ingin melupakan kenangan pahit itu disepanjang perjalananku ke pulau garam, pulau yang selalu ramai terdengar derap langkah kaki karapan sapi dan celotehan air laut pasang surut yang selalu menghias hari-hari sepi. Namun, aku merasa risih memandang wajah tembakau yang murung menunggu hujan datang esok hari; gersang tak henti-henti.
Perjalanan masih panjang, baru seperempat kenangan yang mampu kusayat, sedang langkah sudah mulai gontai, tenggrokan sudah terasa kering kehausan, ingin sekali kuteguk secangkir kopi susu dan kubakar sebatang rokok eceran yang sudah kubeli di toko sebelah kanan pinggir jalan.
“Inilah kenangan” Segala hal yang pernah singgah dalam perjalanan akan menjadi ingatan yang tak mungkin terlupakan,
Kakiku kini memijak tahah gersang bagian timur, Sumenep. Sayup-sayup kulihat bayang seorang wanita melintas ditepian pesisir pantai lombang, pantai yang terletak diujung kota Sumenep. Indahnya nampak dipelupuk mata yang tak bisa menghindar dari medan perang ombak dan batu karang, pantai itu dikelilingi bunga-bunga merekah beserta hiasan kupu-kupu yang menari-nari diatasnya. Baru kali ini aku melihat pantai yang begitu indah menghipnotis mataku yang memandang kosong, apalagi seorang wanita berparas jelita bermain disana, tak pernah ada isyarat dalam mimpiku untuk hal itu, kini dalam benakku wanita itu sudah seakan menjelma menjadi bidadari yang bergelantungan dilangit-langit dipikiranku. Padahal baru kali pertama aku melihatnya. Aduh, degup jantung semakin cepat, perasaan ingin kenal selau mendorongku untuk menyapanya tapi tak ada daya melantunkan secebis kata-kata, aku hanya bisa mengintipnya dari semak-semak tumpukan belukar yang ada didekat pantai itu, rasa penasaran memburu perasaan, terkadang kulihat dia sedang bercanda bersama ombak dan ikan-ikan yang membuatnya tersenyum sendirian. Nekat, kukirimkan salam tanpa kata-kata lewat angin yang berhembus membawa rindu kehati.
aku hanya bisa duduk sendiri diatas batu mengingat-ingat kembali masa lalu yang masih menyisakan perih dan pedih sampai saat ini "Tidak, aku tak boleh mengenal wanita itu, tak akan kubiarkan seorang wanitapun bisa bermain kembali diperaduan cintaku, aku teratama dihianati, lebih baik kubiarkan taman hati kosong tak ada bunga cinta yang merekah dari pada harus menahan sakit setelah tertusuk durinya kembali, hatiku telah hancur-lebur, luluh lantak karenanya, sehingga semuanya tertutup buat wanita, penghianat cinta" Trauma, kini hatiku berselimut benci, bahkan telah mengubur dalam-dalam karisma wanita.
"Wanita tak segan membuat pengagumnya terluka, masinis cintanya tak segan mengiris-iris rindumu, dengan sebilah kecemburuan dan semanis racun kata-katanya, bahkan wanita lebih kejam dariapa yang pernah aku pikirkan selama ini, bangsat." pantaslah hati ini untuk mengubur namanya.
Tapi, aku sadar, segala sesuatu bisa berubah kapan saja, tak terkecuali hatiku yang sudah lama memendam kebencian yang berkepanjangan, sehingga kuanggap setiap cinta seorang wanita adalah onak duri yang bisanya hanya menyakiti, dan tak bisa memberi sebuah keindahan yang abadi.
Ombak menderu sahdu hancurkan ragu yang melilit hatiku, sesaat setelah itu wanita yang pernah kulihat tiba-tiba muncul dari sebrang jalan, kuberanikan diri meyapanya lewat senyum mengawali perkenalan, tubuhku mulai mendekat pelan laksana siput terasa berat membawa beban, aku pun terhanyut dalam gemerlap khayalan yang jauh, kubawa dirinya melintasi jagat raya, kuperlihatkan rembulan kala tersenyum merekah dibawah arasi malam, dan kerlipan mata bintang kutangkap untuk kupersembahkan. Ah, semua sia-sia setelah sinar matahari diperaduan siang datang merenggut khayalan.
Mengaup sejenak dibawah pohon ristan, sesaat setelah gerimis megundang bumi bernyanyi bersama hujan. ribuan harap mengepung hati, "Semoga wanita itu juga berteduh ditempat yang kupijak saat ini". Detik demi detik terasa cepat menjemput menit digubuk waktu, semua berlalu begitu tak terasa. Tapi, wanita cantik itu masih bertahan dibawah guyuran hujan yang semaki lama semakin mengalikan air matanya, aku merasa iba melihatnya basah kuyup kedinginan, hingga akhirnya hati memaksa kaki untuk melangkah menghampirinya, selangkah aku mendekatinya dua langkah ia menjauhiku, entahlah mungkin rasa malu menguasai diriya sehingga setiap langkahku ia pungkiri dan ditinggalkannya pergi.

##############

Bagaimanapun juga aku harus mengobati luka hati ini, walau harus memenjarakan cinta yang suci dari segala cinta yang sering kali menyakiti, sementara atau untuk selama-lamanya. Tapi dari mana aku harus memulai mencari penawarnya? Atau Mungkin aku akan berdiam diri saja menunggu angin membawanya pergi kearah dimana semuanya akan terlupakan ? Atau bahkan aku harus mengulang cerita cinta yang selama ini telah ternoda. Aku akan merasa bersalah jika aku telantarkan cintaku sendirian dijalan kebencian. padahal kehadiranya merupakan percikan-percikan keindahan yang tak semua orang bisa menikmatinya. Mungkin aku yang salah menilainya "Tuhan, aku telah lalai menjalankan tugas-Mu untuk menjaga cinta yang selama ini telah Engkau karuniakan, kini aku tak bisa lagi merasakan aura keharumannya, mendengarkan celotehanya, dan memeluk kesejukannya, hanya duka yang tersisa karenanya, maafkan hamba-Mu ini, izinkanlah aku memupuknya kembali ditaman hati yang sudah lama gersang setelah dihianati, amien"
Cinta adalah satu-satunya rasa terindah yang ada dalam setiap degup nafas manusia, dan cinta itu akan terasa setelah ia bisa merebahkan dirinya dalam peraduan yang sama, begitulah kata pemujanya. Namun, jauh berbeda seperti cintaku yang gugur sebelum kuncup-kuncup keindahanya kurasa, jiwa gersang, hati luluh lantak menahan sakit karma penghianatan. Memang benar apa yang pernah Khalil Gibran katakan sehingga meninggalakan bekas cahaya putih dalam jiwa, cinta adalah membagi, memahami, memberikan kebebasan, menjawab panggilan dan cinta adalah kehidupan, jangan dikira cinta datang dari keakraban yang lama dan pendekatan yang tekun, cinta adalah anak kecocokan jiwa, jika itu tiada pernah ada, cinta tak pernah tercipta dalam hitungan tahun dan abad.
Aku tak ingin lagi mengenangnya, biarlah semua berlalu seperti air mengalir, perasaanku pada seorang wanita kini benar-benar telah tertutup kebencian, dan kepercayaanku pula telah pudar ditelan dusta-dustanya sendiri.
"Ibu, kerinduan demi kerinduan mengepungku untuk selalu mengingatmu, aku sadar, menahan tangis dalam kerinduan yang mendalam adalah siksaan perih perpisahan, namun akan lebih perih lagi jika aku harus pulang menemuimu masih tegak kokoh dalam pilihanmu itu, setiap kali aku ingin memejamkan mata aku selalu berdo’a agar bisa menemuimu walau hanya sekejap saja, dalam lamunan atau dalam mimpi yang tak nyata. Ibu, sedikitpun obat luka belum kutemukan dalam pengembaraanku ini, melainkan hanya seberkas kenangan yang mengusik perhatianku, maafkan aku ibu jika berlama-lama dipulau garam ini" besit hati yang terisolasi.
Kesekian kalinya pantai lombang itu terlihat dihadapanku, masih sama seperti biasanya, nyayian ombak selalu menghias sepinya. Sendiri aku berdiri ditepiannya tak jauh dari pohon ristan yang selama ini aku kenal, kulihat burung-burung bermain dalam rimbunya, sembari menikmati suguhan angin yang sejuk menerpa tubuhku, kucoba melempar batu ketengah - tengah sana, kuikuti gelombang ombak yang berlari kearahku, sembari memaku pandangan dan terlihat jelas bayang-bayang wanita bejilbab melangkah ketengah pantai, aku pun semakin memaku pandangan. Sejenak, degup jantung berlarian adu cepat dengan keringat dingin yang mengeliat ingin keluar dari peraduan kulit,
"Wanita itu lagi, wanita aneh, tidak mau dikasi hati" suaraku sedikit sinis, terkait ingatankun pertama kali bertemu dengannya lalu ditinggalkanya pergi tanpa sapa. Dia berjalan lurus ketengah, aku tahu pantai itu pernah menyimpan mistis, menurut cerita yang aku dengar pulau itu terkadang meminta korban dengan cara mentidak sadarkan korbanya untuk meneggelamkan diri, tak kuhiraukan wanita itu "alah, paling-paling dia hanya ingin mengundang perhatianku saja, setelah kudekati pasti ia akan kembali lagi kepesisir, sama seperti waktu itu, wanita itu memang aneh", setinggi dadanya air meneggelamkan tubuhnya, hatiku mulai khawatir dengan wanita itu walau sebelumnya tak sedikitpun ada rasa perhatian padanya. Sedang air sudah sampai selehernya dan hanya tinggal hitungan detik dia akan tenggelam, seketika itu hatiku mendorong tubuh untuk terjun menyelamatkamnya.
"jebur” Tak ada suara teriakan sedikitpun membesuk telingaku hingga akhirnya wanita itu tengelam, aku semakin mempercepat dayungan tangan agar bisa menyelamatkannya.
Alam menjadi tegang, angin membisu dan dedaunan terpaku menyaksikan kejadian itu, alhamdulilah, aku bisa membawanya kedaratan meski ia sudah kekenyangan dengan air hingga tidak sadarkan diri "apa yang harus aku lakukan?" wanita itu masih dalam timaganku, tumpukan rasa panik semakin menjulang tinggi, pikranku buntu jika aku harus berpikir antara menolongnya dan melakukan larangan-Nya, astaufirullah aku melihat wanita itu sudah tanpa kerudung, kuperas pikiran mencari cara bagaimana untuk menyelamatkannya, teriakanku sudah menyeruak disetiap sisi kesepian disana. Namun, tak seorangpun kulihat, tak ada sebesit suarapun yang kudengar kecuali suara menerjang bendungan. Jika dibiarkan begitu saja mungkin hari ini adalah hari terakhir sinar matahari meyaksikan wujudnya sekaligus menjadi kenangan pahit dihatiku.
Secepatnya aku harus menguras air diperutnya. Tapi, dia masih tersungkur lemas tak bergerak sedikitpun walau sebagian besar air dalam perutnya sudah keluar, kehawatiran semakin memuncak saat sepuluh menit berlalu, kupegang tanagnnya kurasakan urat nadi yang masih berdetak, petanda dia masih hidup, sejam kutunggu dia sambil menikmati dinginnya baju yang masih basah kuyup karna menyelamatkannya. Masih seperti sedia kala, malah urat nadinya semakin lamban berdetak. Aku khawatir.
Terpaksa aku harus meletakkan bibir kering ini diatas bibir merahnya, untuk sedikit memberinya nafas buatan. Aduh, semua menjadi aneh, sinis, cemburu melihat aku, hanya satu kata dalam hati, biarlah seisi alam ini membenciku asal aku tak menggunakan kesempatan dalam kesempitan.
Kini matanya mulai meyaksikan alam kembali, kepalanya masih diatas pangkuanku, dia merasakan pusing, dan seketika dia bangun dari pangkuanku, dia merasa takut karena aku duduk memangkunya.
"Siapa kamu" sapanya gugup, aku jawab dengan senyum belaka, aku tak ingin dia tahu siap sebenarnya aku ini, biarlah aku membungkam seribu kata sambil menyaksikanya pergi menjauhi tatapan mataku.
Tapi aku bersyukur karna akhirnya hati ini bisa juga bisa terbuka menerima sosok wanita yang selama ini kusangka sudah menelantarkan dan mempermainan cinta, sehingga aku hanya bisa berteman dengan sepi kala tersakiti, sepiku sendiri.
Kehidupan ini terkadang berubah seperti roda berputar, kebahagian tak lekang dari penderitaan, keindahan tak mungkin bisa menjauh dari kesedihan, semua seperti dua sisi yang saling bertentangan dan selalu bergelindan dalam setiap kehidupan.
Hanya selarik nama yang bisa aku ingat saat dia berkata dalam separuh ketidak sadarannya, “Asmarani”. Akupun akan menyemainya dalam hati sebagai salah satu obat perih yang kucari selama ini..

*     *    *

Kiriman member TEMBANG JIWA : Ladu Tea Bintang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar